Selasa, 26 September 2017

Perubahan itu butuh usaha.

Yapp... betul banget..!  Jika hidup ingin ada perubahan, maka jangan banyak gaya TAPI Perbesar usaha


KISAH INSPIRASI : Jawaban Elegan dari Tukang Bakso

http://www.kisahinspirasi.com/2012/09/kisah-inspirasi-jawaban-elegan-dari.html

Di suatu senja sepulang kantor, saya masih berkesempatan untuk ngurus tanaman di depan rumah, sambil memperhatikan beberapa anak asuh yang sedang belajar menggambar peta, juga mewarnai. Hujan rintik rintik selalu menyertai di setiap sore di musim hujan ini.
Di kala tangan sedikit berlumuran tanah kotor,...terdengar suara tek...tekk.. .tek...suara tukang bakso dorong lewat. Sambil menyeka keringat..., ku hentikan tukang bakso itu dan memesan beberapa mangkok bakso setelah menanyakan anak - anak, siapa yang mau bakso ?
"Mauuuuuuuuu. ...", secara serempak dan kompak anak - anak asuhku menjawab.
Selesai makan bakso, lalu saya membayarnya. ...
Ada satu hal yang menggelitik fikiranku selama ini ketika saya membayarnya, si tukang bakso memisahkan uang yang diterimanya. Yang satu disimpan dilaci, yang satu ke dompet, yang lainnya ke kaleng bekas kue semacam kencleng. Lalu aku bertanya atas rasa penasaranku selama ini.
"Mang kalo boleh tahu, kenapa uang - uang itu Emang pisahkan? Barangkali ada tujuan ?" "Iya pak, Emang sudah memisahkan uang ini selama jadi tukang bakso yang sudah berlangsung hampir 17 tahun. Tujuannya sederhana saja, Emang hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak Emang, mana yang menjadi hak orang lain / tempat ibadah, dan mana yang menjadi hak cita รข€“ cita penyempurnaan iman ".
"Maksudnya.. ...?", saya melanjutkan bertanya.
"Iya Pak, kan agama dan Tuhan menganjurkan kita agar bisa berbagi dengan sesama. Emang membagi 3, dengan pembagian sebagai berikut :
1. Uang yang masuk ke dompet, artinya untuk memenuhi keperluan hidup sehari - hari Emang dan keluarga.
2. Uang yang masuk ke laci, artinya untuk infaq/sedekah, atau untuk melaksanakan ibadah Qurban. Dan alhamdulillah selama 17 tahun menjadi tukang bakso, Emang selalu ikut qurban seekor kambing, meskipun kambingnya yang ukuran sedang saja.
3. Uang yang masuk ke kencleng, karena emang ingin menyempurnakan agama yang Emang pegang yaitu Islam. Islam mewajibkan kepada umatnya yang mampu, untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji ini tentu butuh biaya yang besar. Maka Emang berdiskusi dengan istri dan istri menyetujui bahwa di setiap penghasilan harian hasil jualan bakso ini, Emang harus menyisihkan sebagian penghasilan sebagai tabungan haji. Dan insya Allah selama 17 tahun menabung, sekitar 2 tahun lagi Emang dan istri akan melaksanakan ibadah haji.
Hatiku sangat...... .....sangat tersentuh mendengar jawaban itu. Sungguh sebuah jawaban sederhana yang sangat mulia. Bahkan mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari si emang tukang bakso tersebut, belum tentu memiliki fikiran dan rencana indah dalam hidup seperti itu. Dan seringkali berlindung di balik tidak mampu atau belum ada rejeki.
Terus saya melanjutkan sedikit pertanyaan, sebagai berikut : "Iya memang bagus...,tapi kan ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi yang mampu, termasuk memiliki kemampuan dalam biaya....".
Ia menjawab, " Itulah sebabnya Pak. Emang justru malu kalau bicara soal mampu atau tidak mampu ini. Karena definisi mampu bukan hak pak RT atau pak RW, bukan hak pak Camat ataupun MUI.
Definisi "mampu" adalah sebuah definisi dimana kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri. Kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu. Sebaliknya kalau kita mendefinisikan diri sendiri, "mampu", maka Insya Allah dengan segala kekuasaan dan kewenangannya Allah akan memberi kemampuan pada kita".
"Masya Allah..., sebuah jawaban elegan dari seorang tukang bakso". 

Selasa, 19 September 2017

menuai kebaikan demi jannah-Nya

Hasil gambar untuk kebaikan orang
oleh: Try Astuti

Dalam kehidupan kita sehari-hari kita selalu berlomba. Berlomba dengan waktu. Berlomba untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan. Apakah itu jabatan; apakah itu harta; apakah itu dana penelitian; apakah itu pendamping hidup. Yah, kita selalu dihadapkan kepada perlombaan setiap hari, setiap jam dan bahkan setiap detik kita harus berlomba. Siapa yang beruntung, siapa yang kuat, siapa yang pintar, siapa yang pintar-pintar biasanya akan menang. Yang lainnya KO. Ada juga yang kalah sebelum berlomba. Merekalah kumpulan orang-orang yang berputus asa.
Dalam berlomba, sering kali banyak yang tidak jujur. Celakanya, yang tidak jujur itulah yang sering menang. Yang jujur sering kalah. Ada yang dicaci, ada yang dikucilkan, ada yang masuk penjara, dan bahkan ada yang harus menyerahkan nyawa. Ini fakta di alam empiris. Kejujuran sering dijadikan ukuran untuk memilih seseorang. Akan tetapi celakanya itu hanya di mulut saja, tidak tercermin dalam tindak tanduk. ”Orang jujur akan hancur”. Demikianlah pendapat sebagian manusia. Mereka berkesimpulan demikian karena melihat di alam empiris ini, dan mereka menilainya hanya dalam jangka menengah. Kita contohkan saja, dalam perebutan pemimpin di negeri ini, banyak terjadi para kandidat melakukan kecurangan. Ada money politic. Ada sogok menyogok. Dan banyak lagi perbuatan kotor yang sebenarnya tidak diperbolehkan. Ketika mereka terpilih, yang terpikir pertama kali adalah bagaimana mengembalikan modal plus bunga dan plus keuntungan sebanyak-banyaknya. Tidak jarang dalam perebutan pemimpin, yang jujur kalah telak.
Yah, itulah kenyataannya. Akan tetapi, Allah memerintahkan kepada kita untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Kebaikan yang anda investasikan itu akan berbuah manis dalam jangka panjang. Ya, memang ketika kita berlomba-lomba untuk berbuat baik banyak halangan yang harus kita lalui. Hambatan pertama datangnya dari diri sendiri. Misalnya, ketika kita ingin menyumbang, alangkah beratnya hati ini. Kita harus berperang melawan diri sendiri. Setelah kita menang melawan diri sendiri barulah kita mampu menyisihkan sebagian harta kita. Akan tetapi, pada saat dan setelah menyumbang kita pun harus berperang melawan diri sendiri, yaitu menjaga diri ini dari riya. Sungguh berat berlomba-lomba dalam kebaikan. Dalam lomba ini justru kita harus mengeluarkan sesuatu yang kita miliki dan kita cintai, yaitu mungkin harta kita, kedudukan kita, nyawa kita, waktu kita dan sebagainya. Hadiahnya? Tidak akan langsung kita terima! Atau kita terima tetapi perlahan-lahan sehingga kita tidak merasa bahwa hadiah telah kita peroleh.
Sesungguhnya, perbuatan baik ibarat investasi jangka panjang. Memang untuk investasi berupa kebaikan banyak sekali hambatan yang harus kita lalui. Ibarat kita ingin menuju ke suatu tempat, kita harus melalui sebuah jalan yang sempit, mendaki, penuh duri, kiri-kanan terdapat jurang-jurang yang dalam dan berbagai hambatan. Jarang sekali orang yang mau dan mampu melewatinya. Sebagian besar justru tertusuk duri, masuk jurang, putus di jalan karena kelelahan. Tidak sanggup lagi mendaki. Jika kita menyimak ke belakang ketika Rasullullah masih hidup betapa perlombaan dalam kebaikan telah dipraktekkan. Contohnya, ketika Rasullullah bertanya siapa yang akan menyumbangkan hartanya untuk syiar Islam. Maka secara spontan ada yang menyumbang unta, ada yang menyumbang separo dari hartanya ada yang menyumbang dua per tiga dari hartanya dan bahkan ada yang menyumbang semua kekayaannya. Mereka tidak ragu. Mereka tidak sangsi. Mereka rela berkorban bagi kejayaan Islam. Itulah salah satu sebab mengapa Islam pada saat itu menjadi jaya. Ketika ketamakan bermunculan, ketika kemewahan merajalela, apa yang terjadi dengan umat Islam? Umat Islam terpuruk dalam percaturan dunia. Ya, banyak orang Islam yang terkena penyakit, yaitu terlalu cinta dunia dan takut mati, takut miskin dll. Inilah kondisi umat Islam dewasa ini yang harus kita sadari dan kita perbaiki bersama.